Kamis, 07 Januari 2010

ATURAN YANG BERIMBAS PADA POLA PIKIR MANUSIA DAN REALITA DI DALAMNYA

Di zaman yang semodern dan canggih ini masih saja kita jumpai pemikiran - pemikiran yang tidak sesuai dengan zamannya. hal ini dapat dilihat dari sikap dan cara pemikiran orang - orang yang selalu mementingkan emosi atau egonya dan tidak mau untuk berpikir secara logika dengan menggunakan kepala dingin dalam seitap menyelesaikan masalah.
jika dipikir - pikir dan dilihat dari ilmu pengetahuan yang telah dipelajari oleh manusia secara turun temurun sangatlah berbeda jauh dengan apa yang ada antara manusia dahulu dengan yang sekarang, dahulu manusia mati-matian untuk mendapatkan sesuatu untuk menjadi enak tetapi sekarang manusia di enakan terlebih dahulu malah tidak mau mati-matian untuk mendapatkan sesuatu yang ada didepannya.

Dapat dilihat disini, Aturan yang dibuat atau diciptakan oleh manusia melalui pemikiran yang dimiliki semata-mata untuk membatasi ruang gerak dan tingkah laku manusia itu sendiri hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus - kasus pelanggaran yang dilakukan oleh manusia karena dalam menciptakan sebuah aturan yang sedang berkembang di dalam sebuah masyarakat. aturan yang dibuat merupakan sebuah tindakan yang diciptakan secara mendadak, dimana apabila setiap ada suatu masalah yang sekiranya itu menjadi ancaman dan momok di dalam sebuah masyarakat maka aturan tersebut akan muncul begitu cepat tanpa melihat dan melakukan kroscek dengan norma-norma serta kebiasaan yang berlaku atau berkembang di masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya pelanggaran yang timbul meskipun aturan tersebut telah dibuat. mengapa seperti itu?

Hal itu disebabkan karena :
1. Adanya sebagian atau keseluruhan masyarakat yang tidak setuju atau tidak menginginkan aturan tersebut ada.
2. Pemahaman dan pemikiran setiap masyarakat dan para pembuat aturan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan.
3. Kebanyakan aturan pada saat ini tidak sesuai dengan aspek-aspek yang telah ada di dalam sebuah kehidupan bermasyarakat
4. Munculnya sebuah aturan tidak diimbangi dengan sosialisasi terhadap aturan tersebut kepada masyarakat.
5. Semakin banyak aturan yang ada maka semakin sempit pula ruang gerak yang dimiliki oleh setiap individu manusia untuk melakukan eksperimen karena takut akan aturan yang ada.

Hal diatas merupakan salah satu penyebab, mengapa manusia pada saat ini lebih mementingkan pemenuhan hidupnya untuk enak daripada untuk mati-matian memperjuangkan apa yang telah ada didepannya.
Apabila setiap aturan yang dibuat untuk menciptakan suasana yang lebih kondusif, hendaknya para pembuat aturan tersebut lebih menekankan pemikiran-pemikiran yang ada pada masyarakat luas dan nilai-nilai yang berkembang didalam sebuah masyarakat, bukan hanya pada para pembuat aturan itu saja.

Setiap aturan yang muncul di masyarakat pastilah akan dinilai, apakah aturan tersebut sudah pas dengan apa yang menjadi permasalahan dan bukan untuk menjadikan suatu masalah baru yang menjadikannya sebagai pemahaman sebagai aturan main dan bukan pemahaman sebagai aturan yang tidak boleh dipermainkan.
Pada kenyataan sekarang ini banyak aturan yang sudah berubah menjadi aturan main yaitu siapa yang kuat maka dapat menjalankan aturan tersebut sesuai dengan keinginannya, sedangkan jika aturan yang tidak boleh dipermainkan yaitu siapapun yang memiliki masalah terhadap aturan tersebut tetap menghormati dan menjalankan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Pada dasarnya banyak asumsi yang muncul bahwa aturan tersebut dibuat untuk dilanggar, hal inilah yang menyebabkan sebuah aturan terasa tidak ada nilainya untuk disegani dan ditakuti karena aturan tidaklah selalu benar dengan kenyataan yang ada.

Rabu, 06 Januari 2010

ANTARA DIALEKTIKA DAN ATHEIS

Pada dasarnya, pemikiran sosialisme-marxisme dibangun di atas -apa yang disebut dengan- dialektika materialisme dan materialisme historis. Dialektika materialisme merupakan paradigma dasar dari sosialisme –termasuk di dalamnya komunisme. Dinamakan dialektika materialisme, sebab ia adalah cara pandang terhadap fenomena alam yang didasarkan pada prinsip pertentangan (dialektika). Dengan kata lain, metodologi berfikir dialektis adalah mengkontradiksikan dan mempertentangkan suatu pemikiran dengan jalan “discourse” atau dialektika. Dinamakan dialektika materialisme, karena paham ini menganalisa dan menggambarkan fenomena-fenomena alam sebagai materi belaka; atau didasarkan pada paham materialisme.

Sedangkan materialisme historis merupakan perluasan dari dialektika materialisme yang mencakup kajian terhadap kehidupan masyarakat. Materialisme historis adalah pisau analisis yang digunakan untuk mengkaji kehidupan masyarakat. Ringkasnya, materialisme historis adalah dialektika materialisme yang digunakan untuk mengkaji masyarakat dan sejarah masyarakat.

Dialektika materialisme merupakan gagasan yang beranjak dari filsafat materialisme. Paham ini memandang kehidupan, manusia, dan alam semesta merupakan materi yang mengalami evolusi internal. Tidak ada pencipta dan makhluk. Yang ada hanyalah evolusi internal materi.

Paham materialisme, atau materialisme-marxisme bertumpu pada sebuah pemikiran yang menyatakan, bahwa alam semesta beserta bagian-bagiannya adalah materi. Berbagai macam fenomena alam merupakan refleksi keragaman dari materi yang terus bergerak. Hubungan timbal balik (dialektis) diantara fenomena-fenomena tersebut, serta keadaan fenomena satu dengan yang lain yang terlihat timbal balik (dialektis) –seperti yang telah ditetapkan oleh hukum dialektika— merupakan aturan baku bagi berevolusinya materi yang terus bergerak.

Alam semesta berevolusi mengikuti hukum pergerakan materi. Alam semesta tidak membutuhkan apapun. Engels menyatakan, “Paham materialisme berlaku bagi seluruh paham tentang alam semesta, sebagaimana bahwa alam semesta tidak perlu bersandar kepada unsur luar di luar materi.” Untuk memperkuat paham materialismenya, Lenin mengutip pendapat filosof Herokleitos yang menyatakan bahwa, “Alam semesta adalah satu. Alam semesta tidak diciptakan oleh tuhan maupun manusia apapun. Apa akan terus ada, dan api akan terus kekal. Api akan menyala dan padam mengikuti aturan tertentu.”

Inilah paham materialisme, atau materialisme-marxisme. Paham ini digambarkan dalam bentuk pertentangan (dialektik). Oleh karena itu, paham ini disebut dialektika. Dialektika adalah kata yang diambil dari bahasa Yunani (dialogue); yang bermakna debat dan diskusi. Pada awalnya, dialektika adalah keahlian untuk mengungkap kebenaran dengan jalan diskusi. Sebagian filosof masa-masa awal menganggap bahwa mendiskusikan pemikiran-pemikiran yang kontradiktif merupakan cara terbaik untuk menemukan kebenaran.

Selanjutnya, cara berfikir dialektis yang digunakan untuk menganalisa fenomena-fenomena alam diubah menjadi metodologi dialektik untuk memahami alam semesta. Menurut metodologi dialektik, fenomena alam akan terus bergerak, terus berubah dan bersifat kekal. Evolusi alam merupakan akibat dari evolusi dan pertentangan internal yang terjadi pada alam. Dengan kata lain, evolusi alam adalah akibat langsung dari pertentangan-pertentangan antara potensi-potensi kontradiktif yang terkandung pada alam.

Dialektika materialisme menyatakan bahwa alam berevolusi mengikuti hukum gerak materi. Materi tidak membutuhkan “rohani”. Materi adalah tunggal dan tidak diciptakan oleh Tuhan. Pandangan semacam ini adalah pandangan yang sangat salah. Materi –yang terpahami dan terindera-- adalah sesuatu yang ada secara pasti. Sebab, eksistensinya bisa ditangkap oleh indera. Sedangkan bergantungnya materi --yang terpahami dan terindera—kepada unsur di luar materi, juga merupakan perkara yang pasti.

Aturan tersebut bukan berasal dari materi. Sebab, aturan tersebut merupakan refleksi dari ketertundukan materi dalam nisbah dan kondisi tertentu. Air hingga berubah menjadi uap air, atau menjadi es, harus sejalan dengan aturan tertentu, atau sesuai dengan derajat panas tertentu. Pada mulanya, pemanasan air tidak mempengaruhi kondisi air sebagai sebuah cairan.

Akan tetapi ketika pemanasan air ditingkatkan atau dikurangi, maka kondisi kesetimbangan cairan menjadi berubah. Dalam satu kondisi ia bisa berubah menjadi uap air, dan pada kondisi yang lain ia bisa berubah menjadi es. Derajat panas ini merupakan aturan yang sejalan dengannya air akan berubah menjadi uap air atau berubah menjadi es.

Nisbah ini, yaitu panas dalam kadar tertentu untuk air dalam ukuran tertentu, tidak mungkin berasal dari air. Sebab, seandainya ia berasal dari air, tentu sangat mungkin bagi air untuk mengubah atau keluar dari aturan tersebut. Akan tetapi, faktanya menunjukkan bahwa air tidak mampu untuk merubah dan keluar dari aturan tersebut. Bahkan, ia harus tunduk dengan aturan tersebut.

Ini menunjukkan bahwa aturan tersebut bukan berasal dari air secara pasti. Aturan ini juga tidak mungkin berasal dari panas. Buktinya, ia tidak mampu untuk merubah, atau keluar dari derajat panas tersebut. Akan tetapi, ia tunduk dengan aturan tersebut. Walhasil, aturan tersebut pasti bukan berasal dari panas. Kesimpulannya, aturan tersebut bukan berasal dari materi.

Aturan tersebut bukan juga salah satu khasiat yang dimiliki oleh materi. Sebab, aturan tersebut bukan bagian dari pengaruh-pengaruh yang dihasilkan oleh materi, sehingga dinyatakan bahwa ia merupakan khasiat dari materi. Akan tetapi, ia adalah sesuatu yang menundukkan materi dari luar materi. Pada kasus perubahan air, aturan bukanlah khasiat dari air.

Ia juga bukan khasiat dari panas. Sebab, aturan tersebut tidak merubah air menjadi uap atau menjadi es, akan tetapi ia merubah air dengan derajat panas tertentu untuk nisbah tertentu dari air. Permasalahannya tidak terletak pada perubahannya, akan tetapi perubahan dengan derajat panas tertentu bagi nisbah tertentu dari air. Ia tidak sama dengan khasiat melihat pada mata. Akan tetapi, kemampuan (khasiat) melihat tidak akan muncul kecuali berada pada kondisi tertentu.

Inilah yang disebut dengan aturan. Eksistensi mata yang bisa melihat merupakan bagian dari khasiat mata. Akan tetapi, keberadaan mata tidak bisa melihat kecuali berada pada kondisi tertentu, bukan termasuk khasiat dari mata. Akan tetapi, ia adalah sesuatu di luar mata. Membakar adalah khasiat dari api. Akan tetapi kenyataan bahwa api tidak bisa membakar kecuali dengan kondisi-kondisi tertentu, bukanlah bagian dari khasiat api. Namun, ia adalah unsur lain di luar api.

Walhasil, khasiat benda berbeda dengan aturan yang ditempuh oleh materi. Sebab, khasiat adalah sesuatu yang dimiliki dirinya sendiri, dan muncul dari materi. Misalnya, khasiat “melihat” pada mata, “membakar” pada api, dan sebagainya. Akan tetapi, hukum yang ditempuh oleh materi menunjukkan kenyataan sebagai berikut; “melihat” tidak akan terjadi pada mata, kecuali berada pada kondisi tertentu. Keberadaan membakar tidak akan terjadi pada api, kecuali berada pada kondisi tertentu. Air tidak akan berubah menjadi uap air atau es kecuali pada kondisi tertentu, dan seterusnya. Terbuktilah, bahwa hukum materi bukan bagian dari khasiat materi, akan tetapi sesuatu yang berada di luar materi.

Tatkala terbukti, bahwa hukum tersebut bukan berasal dari materi, dan bukan khasiat dari materi, maka ia pasti berasal dari luar materi. Materi ditundukkan oleh bukan materi dan ia berada di luar materi. Akhirnya, terbuktilah, ada sesuatu di luar materi yang mempengaruhi materi. Terbukti juga kebathilan paradigma sosialis-komunis, kebathilan yang sangat jelas ini akankah kita gunakan sebagai idiologi.

KILOMETER NOL INDONESIA


Semua orang Indonesia pasti hafal lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” karangan R Surarjo. Begitu populernya lagi ini sampai-sampai sebuah produk mi instan menggunakannya sebagai jingle iklan. Bahkan, seorang calon presiden dalam pilpres lalu ikut menumpang kepopuleran lagu ini dengan menjadikannya sebagai jingle iklan kampanye.

“Dari Sabang Sampai Merauke” adalah gambaran luas wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang, sebuah pulau kecil di ujung utara Pulau Sumatera, hingga Merauke, sebuah kota di sisi timur Pulau Papua. Nah, jika bicara jarak bentangan negeri Nusantara ini, di manakah titik nol kilometer Indonesia?

Merujuk pada lagu di atas, titik nol itu ada di Kota Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Di sana ada Tugu Kilometer Nol. “Lokasi ini (Kilometer Nol) banyak dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara, apalagi setelah jalan menuju tempat bersejarah tersebut kini sudah mulus. Yang diperlukan sekarang kiat untuk mempromosikannya,” kata tokoh masyarakat setempat.

Tugu Kilometer Nol merupakan sebuah bangunan yang menjulang setinggi 22,5 meter berbentuk lingkaran berjeruji yang diresmikan oleh TRY SUTISNO selaku Wakil Presiden Indonesia dan diresmikan pada 09 September 1997. Semua bagian tugu ini dicat berwarna putih. Di bagian atas lingkaran ini menyempit seperti mata bor. Di puncak tugu bertengger patung burung garuda menggenggam angka nol. Sebuah prasasti marmer hitam menunjukkan posisi geografis tempat ini: Lintang Utara 05 54′ 21,99″ Bujur Timur 95 12′ 59,02″.

Tugu ini berdiri di sebuah bukit yang sepi dengan laut biru membentang di bawahnya. Pemandangan dari atas bukit ini cantik sekali dengan pemandangan laut membiru dan suara angin menderu. Tempat ini merupakan sebuah kawasan hutan lindung di ujung Pulau Weh. Ditempat ini memiliki Pemandangan yang sangat indah. Pada Sore hari bisa kita saksikan matahari terbenam karena berada ujung paling barat di pulau tersebut.

Sarana transportasi menuju Tugu Kilometer Nol yang diresmikan mantan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala BPPT BJ Habibie sekitar tahun 1997 itu sudah selesai dibangun Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias sepanjang 29 km dari pusat Kota Sabang. Sepanjang jalan menuju lokasi Tugu dikelilingi hutan dan pantai. Perjalanan ke sana adalah keindahan yang lain. Puluhan monyet dapat dijumpai sepanjang jalan. Apabila telah berkunjung ke Tugu Kilometer Nol Indonesia maka setiap pengunjung akan diberi sebuah sertifikat bahwa telah menjadi pengunjung yang ke berapa. sampai saat ini sudah ada sekitar 26.500 pengunjung per bulan Desember 2009.

Jadi apakah anda tertarik dan berminat untuk mengunjungi dan menjadi pengunjung selanjutnya?

Selasa, 05 Januari 2010

RIWAYAT SINGKAT SEBUAH KOMUNITAS

SALAH SATU FOTO KEGIATAN COMPAAS DAN SEKAR WANGI ORGANIZER.
salah satu Organisasi Masyarakat yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang kini sedang mengukir nama di dalam sebuah kelompok masyarakat maupun pemerintahan yaitu Community Pemuda Nusantara atau yang disingkat dengan COMPAAS, yang mana sepintas nama dari singkatan tersebut menyerupai salah satu media massa cetak yang ada di Indonesia.

awal mula terbentuknya Komunitas ini didasarkan pada sekumpulan anak- anak muda yang waktu SMAnya yang notabene memiliki latar belakang para Pecinta Alam yang berkumpul didalam sebuah tempat dan hampir setiap malam diwaktu berkumpul selalu menyampaikan pendapat, kritikan, sanggahan, informasi, dan lain - lainnya, yang akhirnya muncul sebuah ide untuk mendirikan sebuah Komunitas yang tujuannya untuk menghindarkan asumsi - asumi negatif dari masyarakat terhadap sekumpulan anak -anak muda ini.

setelah melakukan tukar pendapat maka terbentuklah nama pertama yang muncul COMPAAS tetapi dengan arti bukan yang ada pada saat sekarang ini. yang mana awalnya adalah Community Pencinta Alam Arek Pasar. Mengapa Arek Pasar??? pastilah muncul pertanyaan seperti itu. hal ini dikarenakan tempat berkumpul anak - anak tersebut ada di sebuah pasar,yaitu Pasar Banyuwangi di emperan Toko Sport. mungkin kalau para pembaca berasal dari Kota Banyuwangi pasti mengetahui tempat tersebut.

Setelah muncul nama tersebut selang beberapa bulan anak-anak community tersebut langsung melangsungkan kegiatan pertama di tahun 2007 yang berupa kegiatan bersih-bersih pasar dengan para peserta dari seluruh sekolah SMP/SMA yang ada di dalam Kota Banyuwangi.
kemudian komunitas ini sempat vakum selama beberapa bulan dikarenakan para anggotanya sibuk mau meneruskan menuntut ilmu yang lebih tinggi atau sibuk mencari pekerjaan.

Selang sekitar 2 bulanan dari vakum, komunitas ini mulai bangkit untuk meneruskan eksistensinya di masyarakat luas. dengan adanya keingingan dari setiap anggota untuk mengesahkan komunitas ini maka diajukanlah kehadapan Notaris yang mana sebelum pengajuan tersebut telah terjadi perubahan nama menjadi Community Pemuda Nusantara yang telah terbentuk sejak tanggal 20 Mei 2007 yang telah dilengkapi dengan AD/ART COMPAAS. dengan diketuai oleh Shandy Sumarsono dengan pembina I Wayan Suirtadana B.A

Kemudian setelah komunitas ini sah menurut hukum perundang-undangan yang berlaku dengan memiliki akta notaris yang jelas, maka banyak kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan yang mana setiap pelaksanaan pesertanya selalu melibatkan anak-anak sekolah yang ada di Banyuwangi.
kegiatan-kegiatan yang telah diadakan, antara lain :
1. kegiatan "Temu Lapang para Pecinta Alam" bertempat di kawasan Paltuding, Kawah Ijen pada tanggal 17 Agustus 2008.
2. kegiatan "Temu Wicara Dengan Para Veteran dan Sejarahwan" yang bertempat di pondok WINA pada tanggal 08 Agustus 2009.
3. kegiatan yang terakhir berupa "jalan Perjuangan Benculuk Banyuwangi" pada tanggal 13 Desember 2009 sekaligus memeriahkan Hari Jadi Banyuwangi.

Pada kegiatan yang terakhir ini panitia pelaksana berasal dari SEKAR WANGI ORGANIZER yang merupakan group dari COMPAAS. S.W.O sendiri diketuai oleh Mohammad Fatah Yasin Dengan pembina Rohmat Arifin. yang terbentuk pada tanggal 03 Desember 2009.

tempat wisata paling menarik di Banyuwangi





<-- SUKAMADE

PLENGKUNG (G-LAND) -->

NAMANYA Fritz Simon, usianya 40 tahun. Ia lahir di sebuah kota di Australia, namun ia tak mau jati dirinya dipaparkan lengkap. Orangtuanya berasal dari Inggris dan berusaha di bidang pertanian hortikultura. Fritz-panggilan akrabnya-diharapkan sang ayah bisa melanjutkan usahanya itu. Sebab, saudaranya yang lain menekuni profesi sebagai dokter dan saudara perempuannya yang sudah menikah lebih senang menjadi dosen.

“Lautan biru yang membentang luas itu tak pernah tidur. Gemuruh ombak terus menggebu, berpacu menggerakkan lidah airnya untuk terus-menerus menjilati pasir di pantai. Itulah dinamika kehidupan samudra luas. Itulah lukisan alam tentang kehidupan anak manusia di muka bumi,” demikian bunyi sebagian catatan Fritz dalam buku hariannya. Ia mengaku, catatan itu telah diterjemahkan pemandunya dan didiskusikan bersama.

Fritz Simon juga cukup lancar berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. “Tapi belum mahir seperti dia,” katanya sambil menunjuk Putu Astana, pemandu wisata asal Denpasar yang menyertai rombongannya. Saat itu mereka menginap di sebuah hotel dalam perkebunan di daerah Banyuwangi.

Pantai Plengkung yang terletak sekitar 90 kilometer selatan Kota Banyuwangi itu memang sudah terkenal di luar negeri. “Banyak peselancar yang mengakui lokasinya sangat bagus, panoramanya indah. Ombaknya disebut-sebut sebagai terbaik kedua setelah arena selancar air di Hawaii,” ujar Margono, Kepala Subdinas Sarana Pariwisata pada Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kabupaten Banyuwangi. Pantai Plengkung adalah salah satu obyek wisata dari “segi tiga berlian” yang dijadikan andalan obyek wisata di Banyuwangi.

Kepala Seksi Promosi Pariwisata Rundiati yang mendampingi Margono menyatakan, tanggal 9-14 September lalu di Pantai Plengkung dilaksanakan lomba selancar air (surfing) tingkat internasional yang dikenal dengan “Banyuwangi G-Land International Team Challence”. Lomba itu diikuti 12 tim selancar air dari delapan negara dengan jumlah atlet 86 orang. Mereka antara lain dari Australia, Perancis, Inggris, Amerika, dan Selandia Baru. Tidak ketinggalan tim Indonesia yang diwakili atlet peselancar dari Bali.

OBYEK wisata lain yang masuk dalam “segi tiga berlian” Banyuwangi adalah kawah Gunung Ijen (Ijen Crarter). Pemandangan di sana memang indah dan unik. Perjalanan menuju ke obyek itu sebagian lewat jalan setapak yang terjal di perkebunan kopi dan hutan lindung. Pemandangannya pun bervariasi. Jika alam sedang ramah, banyak jenis burung yang beterbangan di alam bebas sambil sesekali berkicau.

Semakin mendekati kawah di puncak gunung, bau menyengat mulai terasa. Setelah sampai di bibir kawah, bau belerang terasa semakin kuat. Kita seperti berdiri di “bibir panci”. Di belakang kita adalah lereng gunung yang terjal, dan di depan ada lubang besar menganga yang bernama kawah dan kaldera.

The Handbook to Tourism Objects of Banyuwangi, mencapai 2.000 hektar, terletak sekitar 32 kilometer dari Kota Banyuwangi. Namun, jalan ke sana yang paling baik lewat Kabupaten Bondowoso. Kawah berada pada ketinggian 2.800 meter di atas permukaan laut.

OBYEK wisata ketiga yang masuk dalam “segi tiga berlian” adalah Pantai Sukamade di kawasan Taman Nasional Merubetiri. Lokasinya sekitar 100 kilometer barat daya Kota Banyuwangi. Pantai Sukamade merupakan habitat dan penangkaran penyu. Di sini terdapat lima jenis penyu, dan pengunjung dapat “mengintip” penyu-penyu yang sedang bertelur di pasir pantai. Kegiatan itu biasanya terjadi pada malam hari, terlebih jika bulan sedang purnama.

Sekitar Pantai Plengkung juga banyak obyek wisata alam yang menarik, terutama bagi mereka yang senang bertualang. Taman Nasional Alas Purwo yang “memangku” Pantai Plengkung merupakan ekosistem hutan tropis dataran rendah dengan vegetasi hutan pantai dan mangrove.

Topografinya bergelombang sampai datar, dan yang paling tinggi adalah puncak Gunung Linggar Manis (322 meter). Selain Plengkung, pantai di kawasan Alas Purwo itu yang banyak disenangi adalah Pantai Trianggulasi dan Pancur. Dari tempat ini juga bisa disaksikan panorama indah terbenamnya Matahari.

Meskipun tidak termasuk dalam “segi tiga berlian”, sebenarnya masih banyak pemandangan alam yang indah di Kabupaten Banyuwangi. Sebutlah antara lain Pantai Meneng dan Taman Wisata Watudodol. Banyuwangi juga memiliki pemandian air terjun Antogan yang letaknya hanya 16 kilometer dari pusat kota, serta beberapa lokasi agrowisata yang cukup baik.

Belum lagi wisata budaya, seperti perkampungan Osing, tarian gandrung, serta kesenian tradisional lainnya. Kabupaten ini juga memiliki museum, yang antara lain menyimpan benda-benda bersejarah asli Banyuwangi. Beberapa situs dan tempat-tempat bersejarah sampai Klenteng Ho Tong Bio yang didirikan tahun 1768-1784 juga bisa dijadikan obyek wisata.

Masih banyak lagi obyek yang bisa “dipasarkan”. Sebutlah upacara tradisional Petik Laut di pusat perikanan Muncar atau Pancer. Yang tidak kalah menariknya adalah berbagai peninggalan yang berkaitan dengan Kerajaan Blambangan. Minakjinggo dan Dayun, raja dan abdi di kerajaan ini sangat populer dalam cerita pertunjukan seni ketoprak. Itulah Banyuwangi, yang menyebut dirinya sebagai The Real Tropical Country, Bumi Tropis Senyatanya.

SAYANGNYA, banyak obyek wisata yang belum terbenahi secara rapi, terutama sarana jalan dan transportasi yang pada umumnya belum memadai. Banyak pengunjung yang mengeluh betapa sulitnya mencapai Taman Nasional Alas Purwo dan Pantai Plengkung dengan menggunakan kendaraan umum. Demikian juga untuk mendatangi Pantai Sukamade dan kawah Ijen. Petunjuk perjalanan ke berbagai obyek itu juga sangat minim, dan peta wisata yang ada tidak banyak menolong.

Untuk mencapai Banyuwangi memang tidak sulit, baik dari arah Surabaya maupun Denpasar (Bali). Namun, jarak yang harus ditempuh terlalu jauh, empat jam atau lebih. Sebagai “turis singgah” itu sudah sangat melelahkan, namun untuk menjadi tujuan wisata rasanya Banyuwangi belum memadai.

Selain itu, semangat meningkatkan pemasukan PAD (pendapatan asli daerah) juga ada yang berimbas pada kegiatan pariwisata. Misalnya, dinaikkannya karcis masuk ke beberapa obyek sampai “retribusi” terhadap kamera atau alat rekam lain yang dibawa wisatawan.

Untuk mengatasi faktor jarak dan waktu, Banyuwangi mulai membangun lapangan terbang. Pencanangan awal pembangunannya dilakukan oleh Wakil Presiden Hamzah Haz didampingi Menteri Perhubungan Agum Gumelar tanggal 27 Agustus 2003. Lokasinya di Desa Blimbingsari, Kecamatan Rogojampi, sekitar 20 kilometer dari pusat kota.

Selain untuk menopang kegiatan bisnis puluhan pengusaha dan eksportir di Banyuwangi, lapangan terbang ini diharapkan juga memberikan banyak kemudahan bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Banyuwangi. Jarak tempuh Surabaya-Banyuwangi atau Denpasar-Banyuwangi lewat darat yang memakan waktu minimal empat jam bisa dipersingkat menjadi 15-20 menit.

Sejarah kota Banyuwangi

Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).

Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.

Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.

DAFTAR BUPATI BANYUWANGI
R.Oesman Soemodinoto R. Soegito Noto Soegito
Djoko Supaat Slamet
Periode : 1942 - 1947
Periode : 1955 - 1965
Periode : 1966 - 1978
Susilo Suhartono, SH S. Djoko Wasito Harwin Wasisto
Periode : 1978 - 1983 Periode : 1983 - 1988 Periode : 1988 - 1991
H. Turyono Purnomo Sidik Ir. H. Samsul Hadi Ratna Ani Lestari, SE. MM.
Periode : 1991 - 2000 Periode : 2000 - 2005 Periode : 2005 - 2010

Sejarah kota Surabaya


Surabaya secara resmi berdiri pada tahun 1293. Tanggal peristiwa yang diarnbil adalah kemenangan Raden Wijaya, Raja Pertama Mojopahit melawan pasukan Cina.

Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama. Saat Itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya.

Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kernerdekaan. Puncaknya pada tanggal l0 Nopember 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu rnenjadi sirnbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap Tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan.

Hingga saat ini bekas-bekas masa penjajahan terlihat dengan masih cukup banyaknya bangunan kuno bersejarah di sini.

Asal kata "SURABAYA" dan Simbol "SURA" dan "BAYA"
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I, berangka 1358 M. Dalam prasati tersebut terungkap bahwa Surabaya (churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Brantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai Brantas.

Surabaya (Surabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama yang ditulis oleh Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam Wuruk pada tahun 1365 dalam pupuh XVII (bait ke-5, baris terakhir).

Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M (prasasti Trowulan) & 1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tsb.

Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.

Versi lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah kraton di Ujunggaluh, dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu Buaya, Jayengrono makin kuat dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kesaktian dilakukan di pinggir Sungai Kalimas dekat Paneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga.

Kata "Surabaya" juga sering diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Selain itu, dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa nama Surabaya muncul setelah terjadinya peperangan antara ikan Sura dan Buaya (Baya).

Supaya tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan atas kesepakatan sekelompok sejarawan yang dibentuk oleh pemerintah kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata "sura ing bhaya" yang berarti "keberanian menghadapi bahaya" diambil dari babak dikalahkannya pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya pada tanggal 31 Mei 1293.

Tentang simbol kota Surabaya yang berupa ikan sura dan buaya terdapat banyak sekali cerita. Salah satu yang terkenal tentang pertarungan ikan sura dan buaya diceritakan oleh LCR. Breeman, seorang pimpinan Nutspaarbank di Surabaya pada tahun 1918.

Masih banyak cerita lain tentang makna dan semangat Surabaya. Semuanya mengilhami pembuatan lambang-lambang Kota Surabaya. Lambang Kota Surabaya yang berlaku sampai saat ini ditetapkan oleh DPRS Kota Besar Surabaya dengan Putusan no. 34/DPRDS tanggal 19 Juni 1955, diperkuat dengan Keputusan Presiden R.I. No. 193 tahun 1956 tanggal 14 Desember 1956 yang isinya :

1. Lambang berbentuk perisai segi enam yang distilir (gesty leerd), yang maksudnya melindungi Kota Besar Surabaya.
2. Lukisan Tugu Pahlawan melambangkan kepahlawanan putera-puteri Surabaya dalam mempertahankan Kemerdekaan melawan kaum penjajah.
3. Lukisan ikan Sura dan Baya yang berarti Sura Ing Baya melambangkan sifat keberanian putera-puteri Surabaya yang tidak gentar menghadapi sesuatu bahaya.
4. Warna-warna biru, hitam, perak (putih) dan emas (kuning) dibuat sejernih dan secermelang mungkin, agar dengan demikian dihasilkan suatu lambang yang memuaskan.