Rabu, 06 Januari 2010

ANTARA DIALEKTIKA DAN ATHEIS

Pada dasarnya, pemikiran sosialisme-marxisme dibangun di atas -apa yang disebut dengan- dialektika materialisme dan materialisme historis. Dialektika materialisme merupakan paradigma dasar dari sosialisme –termasuk di dalamnya komunisme. Dinamakan dialektika materialisme, sebab ia adalah cara pandang terhadap fenomena alam yang didasarkan pada prinsip pertentangan (dialektika). Dengan kata lain, metodologi berfikir dialektis adalah mengkontradiksikan dan mempertentangkan suatu pemikiran dengan jalan “discourse” atau dialektika. Dinamakan dialektika materialisme, karena paham ini menganalisa dan menggambarkan fenomena-fenomena alam sebagai materi belaka; atau didasarkan pada paham materialisme.

Sedangkan materialisme historis merupakan perluasan dari dialektika materialisme yang mencakup kajian terhadap kehidupan masyarakat. Materialisme historis adalah pisau analisis yang digunakan untuk mengkaji kehidupan masyarakat. Ringkasnya, materialisme historis adalah dialektika materialisme yang digunakan untuk mengkaji masyarakat dan sejarah masyarakat.

Dialektika materialisme merupakan gagasan yang beranjak dari filsafat materialisme. Paham ini memandang kehidupan, manusia, dan alam semesta merupakan materi yang mengalami evolusi internal. Tidak ada pencipta dan makhluk. Yang ada hanyalah evolusi internal materi.

Paham materialisme, atau materialisme-marxisme bertumpu pada sebuah pemikiran yang menyatakan, bahwa alam semesta beserta bagian-bagiannya adalah materi. Berbagai macam fenomena alam merupakan refleksi keragaman dari materi yang terus bergerak. Hubungan timbal balik (dialektis) diantara fenomena-fenomena tersebut, serta keadaan fenomena satu dengan yang lain yang terlihat timbal balik (dialektis) –seperti yang telah ditetapkan oleh hukum dialektika— merupakan aturan baku bagi berevolusinya materi yang terus bergerak.

Alam semesta berevolusi mengikuti hukum pergerakan materi. Alam semesta tidak membutuhkan apapun. Engels menyatakan, “Paham materialisme berlaku bagi seluruh paham tentang alam semesta, sebagaimana bahwa alam semesta tidak perlu bersandar kepada unsur luar di luar materi.” Untuk memperkuat paham materialismenya, Lenin mengutip pendapat filosof Herokleitos yang menyatakan bahwa, “Alam semesta adalah satu. Alam semesta tidak diciptakan oleh tuhan maupun manusia apapun. Apa akan terus ada, dan api akan terus kekal. Api akan menyala dan padam mengikuti aturan tertentu.”

Inilah paham materialisme, atau materialisme-marxisme. Paham ini digambarkan dalam bentuk pertentangan (dialektik). Oleh karena itu, paham ini disebut dialektika. Dialektika adalah kata yang diambil dari bahasa Yunani (dialogue); yang bermakna debat dan diskusi. Pada awalnya, dialektika adalah keahlian untuk mengungkap kebenaran dengan jalan diskusi. Sebagian filosof masa-masa awal menganggap bahwa mendiskusikan pemikiran-pemikiran yang kontradiktif merupakan cara terbaik untuk menemukan kebenaran.

Selanjutnya, cara berfikir dialektis yang digunakan untuk menganalisa fenomena-fenomena alam diubah menjadi metodologi dialektik untuk memahami alam semesta. Menurut metodologi dialektik, fenomena alam akan terus bergerak, terus berubah dan bersifat kekal. Evolusi alam merupakan akibat dari evolusi dan pertentangan internal yang terjadi pada alam. Dengan kata lain, evolusi alam adalah akibat langsung dari pertentangan-pertentangan antara potensi-potensi kontradiktif yang terkandung pada alam.

Dialektika materialisme menyatakan bahwa alam berevolusi mengikuti hukum gerak materi. Materi tidak membutuhkan “rohani”. Materi adalah tunggal dan tidak diciptakan oleh Tuhan. Pandangan semacam ini adalah pandangan yang sangat salah. Materi –yang terpahami dan terindera-- adalah sesuatu yang ada secara pasti. Sebab, eksistensinya bisa ditangkap oleh indera. Sedangkan bergantungnya materi --yang terpahami dan terindera—kepada unsur di luar materi, juga merupakan perkara yang pasti.

Aturan tersebut bukan berasal dari materi. Sebab, aturan tersebut merupakan refleksi dari ketertundukan materi dalam nisbah dan kondisi tertentu. Air hingga berubah menjadi uap air, atau menjadi es, harus sejalan dengan aturan tertentu, atau sesuai dengan derajat panas tertentu. Pada mulanya, pemanasan air tidak mempengaruhi kondisi air sebagai sebuah cairan.

Akan tetapi ketika pemanasan air ditingkatkan atau dikurangi, maka kondisi kesetimbangan cairan menjadi berubah. Dalam satu kondisi ia bisa berubah menjadi uap air, dan pada kondisi yang lain ia bisa berubah menjadi es. Derajat panas ini merupakan aturan yang sejalan dengannya air akan berubah menjadi uap air atau berubah menjadi es.

Nisbah ini, yaitu panas dalam kadar tertentu untuk air dalam ukuran tertentu, tidak mungkin berasal dari air. Sebab, seandainya ia berasal dari air, tentu sangat mungkin bagi air untuk mengubah atau keluar dari aturan tersebut. Akan tetapi, faktanya menunjukkan bahwa air tidak mampu untuk merubah dan keluar dari aturan tersebut. Bahkan, ia harus tunduk dengan aturan tersebut.

Ini menunjukkan bahwa aturan tersebut bukan berasal dari air secara pasti. Aturan ini juga tidak mungkin berasal dari panas. Buktinya, ia tidak mampu untuk merubah, atau keluar dari derajat panas tersebut. Akan tetapi, ia tunduk dengan aturan tersebut. Walhasil, aturan tersebut pasti bukan berasal dari panas. Kesimpulannya, aturan tersebut bukan berasal dari materi.

Aturan tersebut bukan juga salah satu khasiat yang dimiliki oleh materi. Sebab, aturan tersebut bukan bagian dari pengaruh-pengaruh yang dihasilkan oleh materi, sehingga dinyatakan bahwa ia merupakan khasiat dari materi. Akan tetapi, ia adalah sesuatu yang menundukkan materi dari luar materi. Pada kasus perubahan air, aturan bukanlah khasiat dari air.

Ia juga bukan khasiat dari panas. Sebab, aturan tersebut tidak merubah air menjadi uap atau menjadi es, akan tetapi ia merubah air dengan derajat panas tertentu untuk nisbah tertentu dari air. Permasalahannya tidak terletak pada perubahannya, akan tetapi perubahan dengan derajat panas tertentu bagi nisbah tertentu dari air. Ia tidak sama dengan khasiat melihat pada mata. Akan tetapi, kemampuan (khasiat) melihat tidak akan muncul kecuali berada pada kondisi tertentu.

Inilah yang disebut dengan aturan. Eksistensi mata yang bisa melihat merupakan bagian dari khasiat mata. Akan tetapi, keberadaan mata tidak bisa melihat kecuali berada pada kondisi tertentu, bukan termasuk khasiat dari mata. Akan tetapi, ia adalah sesuatu di luar mata. Membakar adalah khasiat dari api. Akan tetapi kenyataan bahwa api tidak bisa membakar kecuali dengan kondisi-kondisi tertentu, bukanlah bagian dari khasiat api. Namun, ia adalah unsur lain di luar api.

Walhasil, khasiat benda berbeda dengan aturan yang ditempuh oleh materi. Sebab, khasiat adalah sesuatu yang dimiliki dirinya sendiri, dan muncul dari materi. Misalnya, khasiat “melihat” pada mata, “membakar” pada api, dan sebagainya. Akan tetapi, hukum yang ditempuh oleh materi menunjukkan kenyataan sebagai berikut; “melihat” tidak akan terjadi pada mata, kecuali berada pada kondisi tertentu. Keberadaan membakar tidak akan terjadi pada api, kecuali berada pada kondisi tertentu. Air tidak akan berubah menjadi uap air atau es kecuali pada kondisi tertentu, dan seterusnya. Terbuktilah, bahwa hukum materi bukan bagian dari khasiat materi, akan tetapi sesuatu yang berada di luar materi.

Tatkala terbukti, bahwa hukum tersebut bukan berasal dari materi, dan bukan khasiat dari materi, maka ia pasti berasal dari luar materi. Materi ditundukkan oleh bukan materi dan ia berada di luar materi. Akhirnya, terbuktilah, ada sesuatu di luar materi yang mempengaruhi materi. Terbukti juga kebathilan paradigma sosialis-komunis, kebathilan yang sangat jelas ini akankah kita gunakan sebagai idiologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar